Mamanda
Minggu 8, JUli 2012
Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih hidup.[1]
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).[1]
Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.[1]
Seni drama tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan masyarakat kalimantan pada umumnya. Bahkan, beberapa waktu silam seni lakon Mamanda rutin menghiasi layar kaca sebelum hadirnya saluran televisi swasta yang turut menyaingi acara televisi lokal. Tak heran kesenian ini sudah mulai jarang dipentaskan.
Dialog Mamanda lebih kepada improvisasi pemainnya. Sehingga spontanitas yang terjadi lebih segar tanpa ada naskah yang mengikat. Namun, alur cerita Mamanda masih tetap dikedepankan. Disini Mamanda dapat dimainkan dengan naskah yang utuh atau inti ceritanya saja.
• 1 Sejarah
• 2 Aliran dan nilai budaya
• 3 Perkembangan Mamanda saat ini
• 4 Referensi
Sejarah
Asal muasal Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka tahun 1897. Dulunya di Kalimantan Selatan bernama Komedi Indra Bangsawan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk. Kesenian ini hingga saat ini lebih dikenal dengan sebutan mamanda.
Bermula dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka (1897 M) yang dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa di Tanah Banjar, kesenian ini dipopulerkan dan disambut hangat oleh masyarakat Banjar. Setelah beradaptasi, teater ini melahirkan sebuah teater baru bernama "Mamanda".[1]
Aliran dan nilai budaya
Mamanda mempunyai dua aliran. Pertama adalah Aliran Batang Banyu yang hidup di pesisir sungai daerah Hulu Sungai yaitu di Margasari. Sering juga disebut Mamanda Periuk. Kedua adalah Aliran Tubau yang bermula tahun 1937 M. Aliran ini hidup di daerah Tubau, Rantau. Sering dipentaskan di daerah daratan. Aliran ini disebut juga Mamanda Batubau. Aliran ini yang berkembang di Tanah Banjar.
Pertunjukkan Mamanda mempunyai nilai budaya Yaitu pertunjukkan Mamanda disamping merupakan sebagai media hiburan juga berfungsi sebagai media pendidikan bagi masyarakat Banjar. Cerita yang disajikan baik tentang sejarah kehidupan, contoh toladan yang baik, kritik sosial atau sindiran yang bersifat membangun, demokratis, dan nilai-nilai budaya masyarakat Banjar.
Bermula, Mamanda mempunyai pengiring musik yaitu orkes melayu dengan mendendangkan lagu-lagu berirama melayu, sekarang beralih dengan iringan musik panting dengan mendendangkan Lagu Dua Harapan, Lagu Dua Raja, Lagu Tarima Kasih, Lagu Baladon, Lagu Mambujuk, Lagu Tirik, Lagu Japin, Lagu Gandut , Lagu Mandung-Mandng, dan Lagu Nasib.[2]
Perkembangan Mamanda saat ini
Sekarang ini Mamanda mulai terpinggirkan oleh kesenian modern. Bahkan mungkin, hanya sedikit generasi muda yang tahu kesenian ini. Jika kesenian asli daerah seperti Mamanda tak lagi mendapat perhatian generasi muda, jangan heran nantinya benar-benar punah.
Keberadaan kesenian bertutur seperti Mamanda Kecamatan Paringin Selatan dan Wayang Gong di Kecamatan Juai, Kabupaten Balangan sudah sekarat. Kesenian, yang dulu jadi sarana warga mendapatkan hiburan sekaligus informasi, nyaris mati karena kurang mendapat apresiasi masyarakat.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya melestarikan dengan menghadirkan di sejumlah even resmi seperti hari jadi kabupaten beberapa waktu lalu, tapi memang terbatas. Kendala lainnya banyak masyarakat kita kurang tertarik lagi.
Abdul Syukur, pelaku teater dan sastra Banjarmasin, mengatakan dulu saat ada Departemen Penerangan, kesenian bertutur lebih terangkat karena sering diminta tampil menyampaikan program Pemerintah, terutama di kalangan pedalaman. Tapi sekarang makin jarang sehingga banyak masyarakat jadi kurang mengenal.
Kendati begitu, kata dia, perlu adanya modifikasi agar kesenian tersebut dapat diterima semua kalangan lagi. Misalnya bahasa yang digunakan tidak melulu bahasa daerah setempat tapi dengan bahasa Indonesia.[3]
Mamanda Bakal Tak Terdengar Lagi
MAMANDA dulunya sangat dikenal dan digemari masyarakat Kalimantan Selatan. Seni panggung sejenis teater yang diiringi musik seperti biola dan gendang menampilkan kisah tentang raja-raja ini, biasanya dipentaskan pada acara hajatan atau pesta rakyat.
Sayangnya, sekarang ini Mamanda mulai terpinggirkan oleh kesenian modern. Bahkan mungkin, hanya sedikit generasi muda yang tahu kesenian ini. Jika kesenian asli daerah seperti Mamanda tak lagi mendapat perhatian generasi muda, jangan heran nantinya benar-benar punah.
Kekhawatiran punahnya kesenian asli Kalsel itu sebagaimana dikemukakan Kabag Humas Balangan, Alive Yosefah Love, saat sarasehan Media Pertunjukan Rakyat di Hotel Arum Banjarmasin, Rabu (23/7).
Dia mengatakan, keberadaan kesenian bertutur seperti Mamanda Kecamatan Paringin Selatan dan Wayang Gong di Kecamatan Juai Kabupaten Balangan sudah sekarat. Kesenian, yang dulu jadi sarana warga mendapatkan hiburan sekaligus informasi, nyaris mati karena kurang mendapat apresiasi masyarakat.
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya melestarikan dengan menghadirkan di sejumlah even resmi seperti hari jadi kabupaten beberapa waktu lalu, tapi memang terbatas. Kendala lainnya banyak masyarakat kita kurang tertarik lagi, keluhnya.
Abdul Syukur, pelaku teater dan sastra Banjarmasin, mengatakan dulu saat ada Departemen Penerangan, kesenian bertutur lebih terangkat karena sering diminta tampil menyampaikan program Pemerintah, terutama di kalangan pedalaman. Tapi sekarang makin jarang sehingga banyak masyarakat jadi kurang mengenal.
Kita berencana memasyarakatkan pesan-pesan pembangunan lewat kesenian. Kita usulkan bagaimana kesenian dapat direkam agar dapat dinikmati intens oleh masyarakat, katanya.
Direktur Kominfo Lembaga Media Tradisional, Khairil Anwar, mengungkapkan sekitar 1.800-an kesenian bertutur di Indonesia terancam punah. Contoh yang hilang seperti kesenian Natori di Kupang, Nusa Tenggara Timur, katanya.
Menurut Khairil, selain Departemen Pariwisata pihaknya juga bertanggung jawab menghidupkan lagi kesenian bertutur yang bermanfaat dalam penyebaran informasi pembangunan secara positif. Tugas itu, imbuhnya, termasuk melindungi aset Negara dari kepunahan atau klaim negara lain seperti terjadi pada kesenian Reog Ponorogo yang sempat diakui milik Malaysia.
Kendati begitu, kata dia, perlu adanya modifikasi agar kesenian tersebut dapat diterima semua kalangan lagi. Misalnya bahasa yang digunakan tidak melulu bahasa daerah setempat tapi dengan bahasa Indonesia.
Rampa Kapis Kabupaten Kotabaru
Senin, 09 Juli 2012
Sejarah Perang Banjar
Sejarah Perang Banjar
Minggu 8, JUli 2012
Kisah sejarah nang bujur diambil matan karya alm H.Gusti Mayur
" Perang Banjar "... sejarah ini kadap gasan Urang Banjar Surang. Sultan ditipu pulang..... dibuang k Cianjur Jabar..
Tanggal 28 Februari 1862 tengah malam, Sultan Hidayatullah memasuki kota Martapura bersama anak dan pengiring. Beliau digandeng oleh anak beliau Pangeran Saleh. Mereka disambut oleh Regent Martapura Pangeran Jaya Pamenang dan kemudian berjumpa dengan Residen Verspyck. Ketika Sultan meminta berjumpa dengan ibunda Ratu Siti, maka Ratu Siti dan Ratu Mas Bandara dipersilahkan datang di Pendopo. Pertemuan ini sangat mengharukan. Pihak Belanda melukiskan pertemuan itu demikian :
"Toen zij binnenkwamen, zonk Hidayat voor Ratoe Sitie met het aangeziecht naar den grond gewend, neder. Trots ging deze hem echter voorbijen wierp een verachtelijken blik op den voor haar nederliggenden man. Uit dien bilk sprak veel, het was niet dien eenen moeder, die haren ongelukkigen zoon we-der ziet, neen, diepe niet to beschrijven verachting, spraak daaruit men zag daarin volkomen het karakter dier heerschzuchtige vronw, nog zoo vol geestk¬racht, die alle haar plannen eindelijk den bodem zag ingeslagen".
Lukisan pihak Belanda ini dapatlah kita terjemahkan demikian :
"Ketika mereka (Ratu Siti dan Ratu Mas Bandara) masuk, maka Sultan Hidayatullah berlutut sujud menyembah ibunda Ratu Siti. Dengan sombong Ratu Siti melaluinya dan melemparkan pandangan menghina kepada lelaki yang berjongkok menyembah beliau. Pandangan itu berbicara banyak. Itu bukan pandangan dari seorang ibu yang berjumpa kembali dengan anaknya yang sengsara. Tidak ! Pandangan penghinaan mendalam yang tidak terlukiskan. Melukiskan dan orang melihat seluruhnya watak dan seorang wanita bernafsu memerintah, masih penuh bersemangat, yang akhirnya semua rencananya jatuh gagal berantakkan" .
Sejurus lamanya Sultan Hidayatullah terperanjat atas sikap ibundanya ini. Bukankah langkah yang diambilnya sesuai dengan surat ibunda?
Segera sekalian maklum kelihaian pihak Belanda. Peribahasa Belanda sendiri mengatakan
"Het doel heiligt de meiddelen" (Tujuan menghalalkan segala tipu daya). Tujuan menjaring dan menangkap Sultan membenarkan pemakaian cincin cap Ratu Siti.
Ratu Siti dan Sultan Hidayatullah kemudian menyadari bahwa rupanya telah takdir Allah Subhanahu wa ta 'ala mereka dipertemukan didalam keadaan yang begitu menyedihkan. Belum lagi reda air mata mengalir, Verspyck.telah meminta supaya Sultan segera mengumpulkan keluarga yang akan diikut sertakan di-berangkatkan ke Batavia. Dikatakan perundingan ditunggu dan selanjutnya dengan Gubernur Jenderal.
Pada tanggal 1 Maret 1862 keesokan harinya telah terkumpul keluarga dan pengiring yang akan dibawa ikut serta. Didalam persiapan pemberangkatan ini, rakyat tidak diperkenankan keluar rumah. Rombongan Sultan diangkut dengan kapal Van Os, yang kemudian didekat Banjarmasin berpindah ke kapal Bali. Penjagaan di mana-2 dilakukan dengan sangat ketat sekali.
Demikianlah pada tanggal 3 Maret 1862 jam 9 malam kapal Bali berangkat menuju Jawa. Letnan Verstege, Kontrolir Kuin dengan sejumlah pengawal bertugas mengantar rombongan ini ke Batavia.
Minggu 8, JUli 2012
Kisah sejarah nang bujur diambil matan karya alm H.Gusti Mayur
" Perang Banjar "... sejarah ini kadap gasan Urang Banjar Surang. Sultan ditipu pulang..... dibuang k Cianjur Jabar..
Tanggal 28 Februari 1862 tengah malam, Sultan Hidayatullah memasuki kota Martapura bersama anak dan pengiring. Beliau digandeng oleh anak beliau Pangeran Saleh. Mereka disambut oleh Regent Martapura Pangeran Jaya Pamenang dan kemudian berjumpa dengan Residen Verspyck. Ketika Sultan meminta berjumpa dengan ibunda Ratu Siti, maka Ratu Siti dan Ratu Mas Bandara dipersilahkan datang di Pendopo. Pertemuan ini sangat mengharukan. Pihak Belanda melukiskan pertemuan itu demikian :
"Toen zij binnenkwamen, zonk Hidayat voor Ratoe Sitie met het aangeziecht naar den grond gewend, neder. Trots ging deze hem echter voorbijen wierp een verachtelijken blik op den voor haar nederliggenden man. Uit dien bilk sprak veel, het was niet dien eenen moeder, die haren ongelukkigen zoon we-der ziet, neen, diepe niet to beschrijven verachting, spraak daaruit men zag daarin volkomen het karakter dier heerschzuchtige vronw, nog zoo vol geestk¬racht, die alle haar plannen eindelijk den bodem zag ingeslagen".
Lukisan pihak Belanda ini dapatlah kita terjemahkan demikian :
"Ketika mereka (Ratu Siti dan Ratu Mas Bandara) masuk, maka Sultan Hidayatullah berlutut sujud menyembah ibunda Ratu Siti. Dengan sombong Ratu Siti melaluinya dan melemparkan pandangan menghina kepada lelaki yang berjongkok menyembah beliau. Pandangan itu berbicara banyak. Itu bukan pandangan dari seorang ibu yang berjumpa kembali dengan anaknya yang sengsara. Tidak ! Pandangan penghinaan mendalam yang tidak terlukiskan. Melukiskan dan orang melihat seluruhnya watak dan seorang wanita bernafsu memerintah, masih penuh bersemangat, yang akhirnya semua rencananya jatuh gagal berantakkan" .
Sejurus lamanya Sultan Hidayatullah terperanjat atas sikap ibundanya ini. Bukankah langkah yang diambilnya sesuai dengan surat ibunda?
Segera sekalian maklum kelihaian pihak Belanda. Peribahasa Belanda sendiri mengatakan
"Het doel heiligt de meiddelen" (Tujuan menghalalkan segala tipu daya). Tujuan menjaring dan menangkap Sultan membenarkan pemakaian cincin cap Ratu Siti.
Ratu Siti dan Sultan Hidayatullah kemudian menyadari bahwa rupanya telah takdir Allah Subhanahu wa ta 'ala mereka dipertemukan didalam keadaan yang begitu menyedihkan. Belum lagi reda air mata mengalir, Verspyck.telah meminta supaya Sultan segera mengumpulkan keluarga yang akan diikut sertakan di-berangkatkan ke Batavia. Dikatakan perundingan ditunggu dan selanjutnya dengan Gubernur Jenderal.
Pada tanggal 1 Maret 1862 keesokan harinya telah terkumpul keluarga dan pengiring yang akan dibawa ikut serta. Didalam persiapan pemberangkatan ini, rakyat tidak diperkenankan keluar rumah. Rombongan Sultan diangkut dengan kapal Van Os, yang kemudian didekat Banjarmasin berpindah ke kapal Bali. Penjagaan di mana-2 dilakukan dengan sangat ketat sekali.
Demikianlah pada tanggal 3 Maret 1862 jam 9 malam kapal Bali berangkat menuju Jawa. Letnan Verstege, Kontrolir Kuin dengan sejumlah pengawal bertugas mengantar rombongan ini ke Batavia.
Jumat, 06 Juli 2012
Rampa Kapis Kotabaru
Rampa Kapis Kotabaru
Suku Bajau terbagi ke dalam dua kelompok suku yaitu Bajau laut (Pala'u atau Pela'u) dan Bajau darat (Samah). Bajau Samah merupakan pemeluk agama Islam. Sedangkan Bajau laut memeluk berbagai macam agama, diantaranya Islam, Kristen dan tidak beragama.
Sampai saat ini sangat sulit mengetahui populasi masyarakat Bajau. Kehidupannya yang selalu berpindah-pindah inilah, susah menaksir jumlah mereka.
Bajau Laut/ Pela'u Secara politis, suku Bajau Pela’u tidak memiliki kewarganegaraan. Walaupun dikatakan asal usul mereka dari Sulu Philipina namun mereka bukan warga negara Phillipina. Mereka tidak pernah menetap di satu wilayah dan senantiasa berputar melalui jalur-jalur laut antara Philipina, Malaysia dan Indonesia.Angkatan Laut Diraja Malaysia pernah membuatkan semacam surat keterangan identitas namun itu tidak lantas membuat mereka mendapat pengakuan sebagai warga negara Malaysia. Selama dua tahun ini mereka hanya berputar di sekitar perairan Batu Putih Kalimantan Timur hingga Kepolisian Resort Berau membawa mereka ke Tanjung Redeb, ibukota Kabupaten Berau.Suku ini merupakan kelompok masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi, yang kehidupan umum-nya berlangsung di laut. Bahkan mereka lahir-pun di laut. Suku Bajau juga termasuk kelompok etnis yang masih berada dalam kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang belum berkembang. Di antara mereka ada yang masih hidup secara primitif dan bertempat tinggal di atas perahu kecil bersama istri, anak-anak serta anggota keluarga lainnya. Namun tidak semua orang Bajau hidup seperti itu.Orang Bajau percaya bahwa laut itu berpenghuni, di sana ada semua ciptaan Tuhan, sehingga orang Bajau selalu berhati-hati kalau turun ke laut. Mereka juga menempatkan unsur api, angin, tanah, dan air sebagai nilai sakral tinggi. Keempat unsur ini merupakan cerminan empat unsur penting lainnya, yaitu tubuh, hati, nyawa, dan manusia.
Sejak lahir, laut adalah 'bagian dari mereka' - rumah mereka, pekerjaan mereka dan sumber makanan mereka. Orang mati dikubur di tanah, jauh dari komunitas yang hidup. Bajau-Laut adalah master penyelam tanpa SCUBA turun hingga 30 meter tanpa alat bernafas atau freediving atau apnea (bahasa Yunani yang artinya menahan nafas) untuk mencari ikan, teripang dan mutiara. (Master Penyelam tradisional lain adalah wanita-wanita Jepang atau Ama diver).
Mereka ditemukan baik dalam permanen atau dalam masyarakat nelayan musiman. Perjalanan sebagai sebuah keluarga, mereka sering bergerak di antara masyarakat nelayan tetap dan musiman.
Masyarakat Bajau sehari-hari hidup di atas leppa/ lepa-lepa (rumah-rumah perahu) sebagai suku kembara di lautan bebas. Seorang tua Bajau berkias: “Kami berasal dari laut, di darat kami tidak bahagia...seperti ikan yang harus tinggal di darat.” Dengan kemampuan alami bertahan lama di dalam air saat menyelam, orang Bajau mengumpulkan hasil laut dari berbagai kedalaman, mulai dari teripang hingga mutiara.
Jumat 6, Juli 2012
Suku Bajau adalah suku bangsa yang tanah asalnya Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut. Suku Bajau menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku Bajau yang Muslim ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar.
Wilayah yang terdapat suku Bajau, antara lain :
- Kalimantan Timur (Berau, Bontang, dan lain-lain)
- Kalimantan Selatan (Kota Baru) disebut orang Bajau Rampa Kapis
- Sulawesi Selatan (Selayar)
- Sulawesi Tenggara
- Nusa Tenggara Barat
- Nusa Tenggara Timur (pulau Komodo)
- Sapeken, Sumenep
- Dan lain-lain
Salah satu suku laut terbesar di Indonesia adalah suku Bajau, sampai sekarang tidak diketahui secara pasti asal suku ini. Beberapa sumber menyebutkan Masyarakat Bajau dari kepulauan Sulu di Filipina selatan, kepulauan Riau ataupun kepulauan Maluku.
T erkenal sebagai suku laut karena suku Bajau menghabiskan hampir seluruh hidupnya di atas laut. Mereka adalah para penjelajah lautan sama seperti suku Tar-Tar yang berpindah-pindah mengikuti cuaca yang baik. Masyarakat Bajau juga berpindah mengikuti cuaca. Mereka ke darat hanya mencari kebutuhan dapur, bahan bakar, menjual hasil tangkapan ikan dan memperbaiki perahu, selebihnya di habiskan di lautan.
Asal Mula Suku Bajau
Beberapa kemungkinan asal muasal Suku Bajau :
- Sulu, Filipina. Suku-suku di Kalimantan berasal dariFilipinayang berpindah padamasa prasejarah. Bajau muslim merupakan suku terakhir yang berpindah dari utara Kalimantan ke pesisir Kalimantan selatan, Kalimantan timur dan pulau-pulau sekitarnya.
- Kepulaun Riau. Suku Bajau datang dari Riau karena mengikuti pendakwah muslim dan berkembang serta menyebar sampai ke Kalimantan dan Sulawesi.
- Barat daya semenanjung Sulawesi. Masyarakat Bajau banyak bermukim disekitar pemukiman Bugis dan Makasar. Dari teluk Bone ke selat Tiara dan Butung, pulau Wowoni dan teluk Kendari, serta kepulauan Sabalangka dan teluk Tomori adalah daerah jelajahan suku Bajau.
- Yunan. Bajau merupakan salah satu suku dari generasi Melayu Deutro dari rasMalayan Mongoloid (Melayu muda yang datang dari Yunan ke Asia Tenggara).Suku Bajau menyebar disekitar Asia Tenggara.
Masyarakat Bajau menyebar dari kepulauan Riau, Jambi, Sabah, Malaysia, Maluku,Sulawesi, NTT, pulau Komodo. Selain di Indonesia dan Malaysia mereka juga berada di Thailand, Vietnam, Brunai, Myanmar, Maldives, Afrika Selatan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa penduduk melayu di Madagaskar adalah keturunan suku Bajau.
Wong Kambang, Waju, Turijene merupakan sebutan bagi suku Bajau. Karena hidup mereka di laut, orang-orang Bajau ini adalah perenang dan penyelam yang handal.Mereka dididik dari belia untuk mengenal laut dan menggunakan harpoon (semacam tombak ikan). Suku Bajau berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Sama-Bajau (terdapat lebih dari 20 macam dialek bahasa Bajau).
Sampai saat ini sangat sulit mengetahui populasi masyarakat Bajau. Kehidupannya yang selalu berpindah-pindah inilah, susah menaksir jumlah mereka.
Sejak lahir, laut adalah 'bagian dari mereka' - rumah mereka, pekerjaan mereka dan sumber makanan mereka. Orang mati dikubur di tanah, jauh dari komunitas yang hidup. Bajau-Laut adalah master penyelam tanpa SCUBA turun hingga 30 meter tanpa alat bernafas atau freediving atau apnea (bahasa Yunani yang artinya menahan nafas) untuk mencari ikan, teripang dan mutiara. (Master Penyelam tradisional lain adalah wanita-wanita Jepang atau Ama diver).
Mereka ditemukan baik dalam permanen atau dalam masyarakat nelayan musiman. Perjalanan sebagai sebuah keluarga, mereka sering bergerak di antara masyarakat nelayan tetap dan musiman.
Masyarakat Bajau sehari-hari hidup di atas leppa/ lepa-lepa (rumah-rumah perahu) sebagai suku kembara di lautan bebas. Seorang tua Bajau berkias: “Kami berasal dari laut, di darat kami tidak bahagia...seperti ikan yang harus tinggal di darat.” Dengan kemampuan alami bertahan lama di dalam air saat menyelam, orang Bajau mengumpulkan hasil laut dari berbagai kedalaman, mulai dari teripang hingga mutiara.
‘Diantarkan ke pulau seberang’ sudah menjadi sinonim untuk sebuah sesi berbicara di atas lepa-lepa, mengenang masa lalu mengarungi laut untuk mengunjungi pulau-pulau atau ke Tawalingsi (sekarang Filipina).
Langganan:
Postingan (Atom)